Jumat, 20 April 2012

Aku dan Sahabatku


Hei aku mau cerita, tentang aku dan sahabatku. Kami punya banyak perbedaan diantara selipan-selipan persamaan yang Allah beri. Tapi itu tak pernah membuat jarak yang berarti bagi kami. Oke, tentangku...



Aku suka hijau, dia suka ungu, dan warna yang menyatukan kami adalah biru.

Aku suka hujan, pelangi, bintang malam, dia tidak.

Aku suka perjalanan kemanapun itu, dia tidak.

Aku suka perjalanan malam, dia tidak.

Aku suka menonton film, dia tidak.

Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku di toko buku, dia tidak.

Aku bisa tidak tidur semalaman karena baca buku, dia sama sekali tidak tertarik dengan buku kecuali 'terpaksa' saat ujian.

Aku suka menulis, dia tidak.

Dan ketika kutanya, “Jika Allah mengizinkan ke luar negeri, untuk kuliah lagi mungkin, maunya kemana?” Dia jawab, “Korea”. Sedangkan aku, Jepang.



Kalau dia...

Dia suka sekali duku, aku tidak.

Dia senang sekali ketika naik becak, aku biasa saja.

Dia suka sayur, aku tidak.

Dia suka rujak buah, aku tidak.

Dan ketika dia sudah jengkel denganku maka panggilan terburuk yang tak kusuka yang keluar “Pepooooo”, tapi itu tak membuatku dendam malah tertawa dengan ekspresinya.

Satu hal yang dia suka pada program studyku “Tata Surya” sedangkan aku satu hal yang kusuka dari program studynya “Anak-anak lucu itu”.

Dia suka tertawa ketika aku bilang “Indaaah Allahku” saat melihat alam dan dia akan berkata “halah, apa sih yg ga indah dimatamu?” dengan gaya bahasa persis sama.

Ohya satu lagi, dia suka olahraga, aku tidak.



Seperti yang kukatakan sebelumnya, Allahpun menyelipkan berbagai persamaan diantara kami. Diantaranya...

Kami sama-sama suka musik, mendengarkan musik dengan selera musik yang sama, klop kan? Eh, tunggu dulu, aku suka musik kebarat-baratan misalnya lagu yang dinyanyiin Avril, Vanessa Carlton, Taylor Swift, MLTR, Jason Mraz, M2M, sedangkan dia? Tidak. Haha, ternyata beda lagi. Kalau dia lebih ke musik korea-korean, tapi nasyid yg menyatukan kami.

Kami sama-sama suka nyanyi, tapi dia lebih mumpuni, suaranya bagus (setidaknya menurutku).

Kami sama-sama suka es krim vanilla, sama-sama tidak suka coklat.

Entah kenapa saat pergi dan akan membeli sesuatu (sepatu atau baju, dll lah) kami selalu tertuju pada pilihan yang sama.

Ah, kamu tahu? Aku sedang merindukannya, sudah hampir 1 bulan kami tak bersama, walau kontak via telfon dan sms tak putus. Tapi itu tak cukup bagiku.



Indralaya, 03 April 2012

Rabu, 22 Februari 2012

Lingkaran Cinta Itu

Entah angin apa yang membuat tanganku tergerak untuk menuliskan ini. Yang pasti, ada cinta di sini. Bermula dari sore-sore indah itu, entah kenapa setiap kali bertemu kalian di setiap pekannya, “melingkar”, bercanda, diskusi, berbagi ilmu, pulangnya aku selalu tersenyum-senyum sendiri, bersemangat lebih dari biasanya dalam hal apapun. Ketika pergi ruwet, pulangnya sumringah kayak dapat hadiah :D.


Aku tersenyum ketika mengingat kita yang suka heboh, dan sedikit antusias saat membahas beberapa topik anak muda *ciee, aku tersenyum ketika mengingat kita yang suka saling mendahulukan saat tiba waktu tausyiah, ujung-ujungnya tembak menembak, aku tersenyum saat kita tertawa ringan melihat tingkah Dilla', lucunya Alya. Ah, aku bahkan tersenyum saat menulis ini :). Kekompakan, kebersamaan, kepedulian, kasih sayang dalam jumlah banyak bisakah aku temui sampai akhir hayat nanti? Atau bahkan tetap bersama di kehidupan setelah ini. Rasanya sepekan saja tidak melingkar, rindu ini membuncah asa *jangan ragu-ragu buat bilang lebay. Tapi yakinlah ini bukan lebay. Siapa juga yang mau bilang lebay, eh bukankah kelebayan itu terkadang bisa jadi kenyataan *apa coba? Back to topic please


Anugrah terindah bertemu muslimah-muslimah hebat seperti kalian, keanekaragaman kalian menunjukkan kalau Allah itu memang Maha segalanya. Ada yang suka sekali berbagi cerita, tentu saja cerita-cerita positif yang bisa dijadikan pengalaman hidup dan masa depan *ceile, ada yang semangaaatttnya ruar biasa, yang dengannya kita bisa ikutan semangat 45, ada yang zuhudnya minta ampun, sampe-sampe akun facebook aja gak punya *eh, itu zuhud ya namanya? Kayaknya bener, hehe. Ada yang diam, kalem, tapi menghayutkan dengan hapalan alqur’annya yang sejibun. Ada yang suka berbagi solusi masalah-masalah dengan kebijakan-kebijakan ucapannya. Ada yang dermawan bangetz *pake z. Ada yang menjaganya subhanallah sekali. Ada yang pinter masak gitu *ups (ini penting yah? Penting kayaknya, hehe). Ah, banyak sekali kekerenan kalian yang tak bisa aku ratapi karena aku malu pada diri yang begini-begini saja *ayooo kerenkan diri vo :D. Mari mengerenkan diri sobat.


Apalagi ketika akan berbicara mengenai beliau yang membimbing kami, huaaah. Subhanallah banyak kalinya. Cantiknya dapet, sholehanya insyaAllah, pinternya jangan ditanya, baiknya, perhatiannya, ditambah lagi 2 jundi yang imut-imut dengan rengekannya menemani sebagian sore indah itu. Bertanya lagi, aku gimana nih? *tertunduk *ayooo kerenkan diri vo :D.

Citra, Indralaya

Rabu, 30 November 2011

Danboh

Dahulu kala di sebuah desa yang terpencil, sepi dan jauhhh dari keramaian, hiduplah seseorang yang masih labil.













Dia punya banyak hobby yang unik, bermain alat musik, padahal satu alat musik pun, tak bisa dimainkannya, termasuk piano di bawah ini.












Potret memotret, *darimana coba kameranya?














Memandang langit,













Menikmati alam, *eh tunggu bentar, ni kayaknya mau loncat deh, bukan menikmati alam


















“udah ah, pulang, gak jadi lompat”



















Diapun pulang ke rumah dengan perasaan tidak karuan. Tiba-tiba diperjalanan dia menemukan sebuah bunga mawar merah yang indah sekali. Mana pernah sebelumnya dia melihat bunga itu. Ditariknyalah si bunga ke rumah dan akan diberikannya pada seseorang suatu saat nanti. *Bunganya besar bangettt













Dan akhirnya dia pun menemukan seseorang yang sedang asyik sama pemandangan di sebuah kereta, *emang mau kemana ya, naik kereta segala..
**di skip sampe' beberapa tahun ni cerita












Prosesnya panjang, yang akhirnya lagi dengan penuh keberanian dia pun ... *bilang kayak yang digambar



















Ternyata eh ternyata, seseorang itu menganggukan kepala dan memberikan sebuah senyuman terindah tuk yang mengatakan *namanya siapaaa ni orang? Haha. Ah indahnya, fikirnya, dan terbayanglah hujan lope’ dalam benaknya



















Dia pun menikah, semenjak itu dia tidak pernah merasa sendiri, selain dia dan si spesial itu (yang ada di kereta), ada yang spesial lainnya yang muncul dalam hidupnya, dan dia berusaha memberikan pelajaran perlahan-lahan apa artinya kasih sayang buat si spesial lainnya, misalnya saat hujan *:p













Melihat ikan-ikan di dalam akuarium, *kayaknya mau ngambil ikan tuh bukan mau melihat aja

















Mengajarkan indahnya berbagi
Dan diapun hidup bahagia selamanya bersama orang-orang yang spesial baginya.

THE END 

*Danbohnya bagus-bagus, iseng bikin cerita ngawur.

**Udah iseng, ngawur lagi, ckckck.

Minggu, 29 Mei 2011

Sensasi Menarik di Bus


Bisingnya jalanan Indralaya-Palembang yang akhir-akhir ini suka macet total tidak membuatku bosan untuk menempuhnya dengan jasa sebuah bus, kendaraan favorit ku. Ya, aku paling suka naik bus, soalnya ga ada lagi kendaran lain sih, hehe bukan ding, soalnya aku biasa menemukan sensasi seru dalam sebuah bus, banyak orang-orang berbeda yang kujumpai yang terkadang bikin aku tersenyum sendiri (rada gak jelas gitu, tapi saya ga gila, beneran! Haha) banyak hal yang bisa ku pelajari, dan kemudian membawanya ke rumah untuk menggodoknya hingga mateng dan bisa dimakan (lho). Well, termasuk cerita hari itu. Yang bikin diri ini sadar (biasanya koma) kalau ternyata hidup ini memang menarik, ya menarik sekali untuk diperjuangkan, tentu saja dengan cara-cara yang elegan, dengan cara-cara yang Dia suka dan bukan cara-cara yang tidak disukai-Nya (halah ngomong apa ini).

Hari itu bersama seorang sahabat, aku duduk (sok manis) di sebelah seorang wanita sebayaku dan menyunggingkan sedikit senyum, hadiah buatnya karena telah mempersilakan duduk (saya-nya, sok ramah gitu). Tidak perlu menunggu lama karena memang bus ini sudah terisi penuh oleh penumpang, bus pun melaju dengan kecepatan konstan (mungkin, soalnya datar sih rasanya), alhamdulillah ga macet, beruntung sekali. Belum lama tancap gas, tiba-tiba seorang pemuda jangkung dengan rambut yang sedikit acak-acakan karena agak panjang, naik bus yang sedang aku tumpangi dengan membawa sebuah gitar ditangan kurusnya. Setelah basa basi kepada kami (para penumpang dan pak sopir) diapun mulai memetik alat musik yang dipegangnya, aku pandangi alat musik itu dan melihat jarinya yang menari indah dengan lihainya, sambil berharap ada lagu SO7 yang dinyanyikan atau lagu Edcoustic (haha mimpi). Benar sekali hampir tidak pernah aku mendengar lagu yang kuharapkan keluar dari mulut para musisi jalan itu (request nih, request yg ga penting banget). Setelah puas menyanyikan dua buah lagu dengan suaranya yang lumayan, pemuda itupun mengeluarkan sesuatu dibalik kantong celananya, dan berharap ada hati yang tergerak untuk berbagi rezeki dengannya. Setelah dirasa cukup diapun keluar bus dan berucap terima kasih kepada kondektur bus.

Tidak berapa lama setelah turunnya pemuda pembawa gitar pertama tadi, seorang pemuda lain dengan gaya yang sama naik ke dalam bus ini, bedanya penampilan pemuda yang satu ini agak lebih rapi dari yang pertama, sepertinya dia seorang siswa SMA. Dengan cara yang sama, dan kata-kata yang hampir persis, diapun memulai aksinya. Setelah aksinya selesai, aku membelalakan mata saat dia dengan gigihnya tetap berada di samping seorang penumpang agar hati sang penumpang itu tergerak untuk membagi rezekinya, dan ternyata begitu seterusnya. Sehingga hampir seisi bus itu membagi rezekinya. Setibanya di kursiku, wanita di sampingku dengan rada kesal berkata “ga ada, beneran ga ada" ujarnya dengan aksen Jakarta yg kental sambil merogoh isi tas. Pemuda itu tidak putus asa tetap saja dia berdiri di samping kiriku sambil memandang seorang wanita di samping kananku yang sedang sibuk merogoh isi tasnya. Oh my God, pemaksaan ni namanya. Dan beruntung wanita di sampingku menemukan sesuatu, selembar uang ribuan dan memberikannya pada pemuda itu. Setelah mengucapkan terimakasih dia pun beranjak ke bangku panjang yang berada di barisan paling belakang bus, dengan ekor mataku, aku memperhatikan aksinya, seorang ibu muda yang terpaksa bangun karena ulah sang pemuda itu, gelagapan.
“eh, kenapa?” ujar si ibu.
“permisi mbak” kata si pemuda. Tanpa banyak tanya, dengan melihat penampilannya yang bawa gitar dan sebagainya, tentu ibu itu langsung tahu, ibu itupun segera merogoh isi tas yang sedari tadi dipegangnya dan memberikan beberapa lembar uang ribuan. Aku melirik sahabatku yang berada tepat disamping ibu muda tadi, sedang menahan tawanya (walaupun ga lucu sih, jadi lucu karena baru kali ini melihat hal aneh itu).
Setelah turun dari bus, aku tak bisa menahan tawa lagi, kamipun terkekeh bersama. Ah, sebenarnya bukan menertawakan pemuda itu, lebih tepatnya menertawakan hidup ini, menertawakan kenyataan. Tentu saja, hidup, yang membuat pemuda itu bersikap seperti itu. Ya, hidup ini memang butuh perjuangan, tapi bukan berarti kita bebas berjuang, gigih, dengan MERESAHKAN orang lain. Ada etika dalam berjuang (ceille). Udah ah. :)
(pikiranku melayang ke beberapa bulan yang lalu, saat aku terpana dengan sopannya musisi jalanan di kota itu, ya kota sejuk yang sangat ingin kujadikan domisiliku)

Jumat, 15 April 2011

Good Bye My Sweetest

Hari ini, aku benar-benar melepasmu dari hatiku. Ah, bodoh sekali, menahan ini, menekannya dalam hati, hingga tak jarang wajah yang seharusnya dihiasi dengan senyum sumringah harus tertutupi dengan kemuraman, tak bersemangat, dan berjalan tertunduk tanpa tahu arah saat melihatmu berakrab ria dengan akhwat-akhwat teman kelasmu. Enak kalau niatannya buat GB, lah ini? Ntahlah apa yang membuatmu begitu memesonaku, kau yang selalu tampil elegant dengan kemeja 2/3 lengan dan celana gunung atau lepis longgar itu membuat hatiku kebat-kebit setiap saat melihatmu di depan umum dan melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan. Hatiku yang selalu berdebar setiap kali namamu terdengar ditelingaku, mataku yang selalu mencari senyum ringanmu setiap saat aku tak melihatmu di kampus ini, hingga tak jarang juga aku terpergok temanku sedang melamun dengan fikiran kosong. Benar-benar keterlaluan.
Ah, cinta itu memang datang tak diundang, dan memang tak bisa diprediksikan kepada siapa dia akan hinggap, hari ini aku benar-benar akan melepasmu dari hatiku my sweetest.

***

Siang itu tergesa aku melangkahkan kaki di koridor kampus yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa tanpa kutahu apa tujuan mereka, telinga ini telah tak kuat lagi mendengar berita itu, matapun rasanya sudah sangat susah untuk menahan keluarnya air yang mengalir hangat di pipi, berita itu benar-benar membuatku down, tak bersemangat dan sakit, ya sakit sekali, segumpalan darah yang biasa di sebut dengan hati itu sedang begitu sakitnya. Hampir saja aku kehilangan kelembutan hati kalau saja tidak melihat senyum tulus yang begitu bahagia di wajah cantik Mutya, sahabat dekatku, saat menyerahkan undangan pernikahannya.

“maaf ya Zi, maaaaaff banget tak memberitahukanmu hal ini sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku kepingin ngasih surprise buatmu” ujarnya waktu itu di koridor kampus depan kelasku, sambil menyerahkan undangan itu. Aku tersenyum dan mengambil undangannya sambil berucap

“siapa nih ikhwan yang beruntung itu?”

Dan segera membaca kertas hijau nan indah dengan motif bunga-bunga yang menawan itu. Taraaa, masyaAllah, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku berdebar, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku tersenyum sendiri, mampu membuatku kehilangan mood, mampu membuatku patah semangat, ya Allah, nama itu bersanding indah, terukir di kertas hijau yang cantik itu, bersama sahabatku sendiri, Mutya. Musibahkah ini? Atau teguran? Atau apa?
Tubuhku lunglai tak bersemangat, serasa langit runtuh dan menimpaku sampai ambruk, batu-batu besar menimpaku sampai tak tau lagi bentuknya, ya Allah berat sekali, sungguh, apabila tak ada iman di sini, mungkin aku sudah berlari dan meninggalkan Mutya dengan senyum bahagianya.

“Zi, Zia’, marah ya? Maaf Zi?” katanya lagi, melihatku tercenung tanpa kata.

“eh, enggak kok, selamat ya Mut” ujarku sambil tersenyum palsu.

“ohya, aku duluan bentar ya, mau bimbingan nih, nanti aku telpon kamu” kataku dan berlalu meninggalkan Mutya yang kebingungan dengan sikapku, bagaimana tidak, seorang sahabat yang akan menikah beberapa minggu lagi, tapi reaksiku malah seperti itu, bukannya antusias memberikannya semangat, dan doa-doa malah pergi dengan alasan tentu saja dibuat-buat, astaghfirullah.

Lebih dari 2 hari aku mengurung diri di kamar kost, makan seadanya, tak bersemangat, semua telfon tak ada yang aku jawab. Hanya sholat, baca al-qur’an, menangis. Ah, bodoh sekali. Lebih tepatnya, menata hati. Sampai hari ke-3, Mutya mengetuk pintu kamarku berulang-ulang, hatiku terenyuh, ku buka pintu kamarku, dan dia menubruk tubuhku yang lunglai. Menangis, dan berbicara lembut di telingaku.

“kenapa kau tak pernah memberitahuku?” bisiknya waktu itu.

“tentang apa Mut? Gimana persiapan walimahanmu?”

“Zi, tolonglah jangan siksa diri, kau menyukai Alif kan?” katanya lagi dengan tersedan. Aku terkejut, sekaligus bingung dengan apa yang diucapkan Mutya, tau dari mana dia? Aku sama sekali tak pernah memberitahukannya. Aku diam, tanpa reaksi, tetap membiarkan Mutya meneruskan ucapannya yang sayup-sayup kudengar, aku sudah sangat lunglai. Rabbi, ampuni hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tiba-tiba tanpa pernah terfikirkan olehku, Mutya menawarkan untuk membatalkan pernikahannya, ide tergila yang pernah aku dengar, tentu saja aku menolaknya dengan tegas, dan berkata aku akan lebih sakit saat bersama Alif dengan menyakitimu. Ah, Mutya, adakah ini salahmu? Atau salahku yang tak pernah memberitahukan siapapun kalau aku punya hati dengannya, Alif, calon suamimu. Allah . . dan aku fikir, ini bukan salah siapa-siapa, ini kehendak-Nya.

***
Aku tersenyum getir saat kembali melihat senyum ringanmu yang melintas di depanku bersama teman-temanmu siang itu, matamu yang terlapisi dengan lensa minus itu terpaut dengan mataku, segera aku tundukkn pandangan ini. Hari ini, aku akan benar-benar melepasmu dari hatiku. Ku buka laptopku yang berdebu di atas meja dan segera mencari semua tulisan-tulisan isengku, tentang Alif, dan ctrl+A delete all. Huh, lega rasanya. Betapapun sakitnya aku, tetap saja aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan Alif, good bye my sweetest, bahagiakan Mutya. Aku bisa tanpamu, aku lebih tenang tanpamu, aku lebih bahagia tanpamu. Biarlah Allah saja yang menemaniku saat ini, sampai tiba waktunya. Senyum terindahkupun terukir bersama sayup-sayup adzan maghrib, di mushola, samping kostanku. Aku rindu Engkau ya Allah.


(Cerpen kilat yang saya bikin sebelum ngerjain tugas, ngawur, dan tak terbayangkan betapa sakitnya ketika berada di posisi keduanya, ah tak sanggup saya, hihi :p)