Rabu, 30 November 2011

Danboh

Dahulu kala di sebuah desa yang terpencil, sepi dan jauhhh dari keramaian, hiduplah seseorang yang masih labil.













Dia punya banyak hobby yang unik, bermain alat musik, padahal satu alat musik pun, tak bisa dimainkannya, termasuk piano di bawah ini.












Potret memotret, *darimana coba kameranya?














Memandang langit,













Menikmati alam, *eh tunggu bentar, ni kayaknya mau loncat deh, bukan menikmati alam


















“udah ah, pulang, gak jadi lompat”



















Diapun pulang ke rumah dengan perasaan tidak karuan. Tiba-tiba diperjalanan dia menemukan sebuah bunga mawar merah yang indah sekali. Mana pernah sebelumnya dia melihat bunga itu. Ditariknyalah si bunga ke rumah dan akan diberikannya pada seseorang suatu saat nanti. *Bunganya besar bangettt













Dan akhirnya dia pun menemukan seseorang yang sedang asyik sama pemandangan di sebuah kereta, *emang mau kemana ya, naik kereta segala..
**di skip sampe' beberapa tahun ni cerita












Prosesnya panjang, yang akhirnya lagi dengan penuh keberanian dia pun ... *bilang kayak yang digambar



















Ternyata eh ternyata, seseorang itu menganggukan kepala dan memberikan sebuah senyuman terindah tuk yang mengatakan *namanya siapaaa ni orang? Haha. Ah indahnya, fikirnya, dan terbayanglah hujan lope’ dalam benaknya



















Dia pun menikah, semenjak itu dia tidak pernah merasa sendiri, selain dia dan si spesial itu (yang ada di kereta), ada yang spesial lainnya yang muncul dalam hidupnya, dan dia berusaha memberikan pelajaran perlahan-lahan apa artinya kasih sayang buat si spesial lainnya, misalnya saat hujan *:p













Melihat ikan-ikan di dalam akuarium, *kayaknya mau ngambil ikan tuh bukan mau melihat aja

















Mengajarkan indahnya berbagi
Dan diapun hidup bahagia selamanya bersama orang-orang yang spesial baginya.

THE END 

*Danbohnya bagus-bagus, iseng bikin cerita ngawur.

**Udah iseng, ngawur lagi, ckckck.

Minggu, 29 Mei 2011

Sensasi Menarik di Bus


Bisingnya jalanan Indralaya-Palembang yang akhir-akhir ini suka macet total tidak membuatku bosan untuk menempuhnya dengan jasa sebuah bus, kendaraan favorit ku. Ya, aku paling suka naik bus, soalnya ga ada lagi kendaran lain sih, hehe bukan ding, soalnya aku biasa menemukan sensasi seru dalam sebuah bus, banyak orang-orang berbeda yang kujumpai yang terkadang bikin aku tersenyum sendiri (rada gak jelas gitu, tapi saya ga gila, beneran! Haha) banyak hal yang bisa ku pelajari, dan kemudian membawanya ke rumah untuk menggodoknya hingga mateng dan bisa dimakan (lho). Well, termasuk cerita hari itu. Yang bikin diri ini sadar (biasanya koma) kalau ternyata hidup ini memang menarik, ya menarik sekali untuk diperjuangkan, tentu saja dengan cara-cara yang elegan, dengan cara-cara yang Dia suka dan bukan cara-cara yang tidak disukai-Nya (halah ngomong apa ini).

Hari itu bersama seorang sahabat, aku duduk (sok manis) di sebelah seorang wanita sebayaku dan menyunggingkan sedikit senyum, hadiah buatnya karena telah mempersilakan duduk (saya-nya, sok ramah gitu). Tidak perlu menunggu lama karena memang bus ini sudah terisi penuh oleh penumpang, bus pun melaju dengan kecepatan konstan (mungkin, soalnya datar sih rasanya), alhamdulillah ga macet, beruntung sekali. Belum lama tancap gas, tiba-tiba seorang pemuda jangkung dengan rambut yang sedikit acak-acakan karena agak panjang, naik bus yang sedang aku tumpangi dengan membawa sebuah gitar ditangan kurusnya. Setelah basa basi kepada kami (para penumpang dan pak sopir) diapun mulai memetik alat musik yang dipegangnya, aku pandangi alat musik itu dan melihat jarinya yang menari indah dengan lihainya, sambil berharap ada lagu SO7 yang dinyanyikan atau lagu Edcoustic (haha mimpi). Benar sekali hampir tidak pernah aku mendengar lagu yang kuharapkan keluar dari mulut para musisi jalan itu (request nih, request yg ga penting banget). Setelah puas menyanyikan dua buah lagu dengan suaranya yang lumayan, pemuda itupun mengeluarkan sesuatu dibalik kantong celananya, dan berharap ada hati yang tergerak untuk berbagi rezeki dengannya. Setelah dirasa cukup diapun keluar bus dan berucap terima kasih kepada kondektur bus.

Tidak berapa lama setelah turunnya pemuda pembawa gitar pertama tadi, seorang pemuda lain dengan gaya yang sama naik ke dalam bus ini, bedanya penampilan pemuda yang satu ini agak lebih rapi dari yang pertama, sepertinya dia seorang siswa SMA. Dengan cara yang sama, dan kata-kata yang hampir persis, diapun memulai aksinya. Setelah aksinya selesai, aku membelalakan mata saat dia dengan gigihnya tetap berada di samping seorang penumpang agar hati sang penumpang itu tergerak untuk membagi rezekinya, dan ternyata begitu seterusnya. Sehingga hampir seisi bus itu membagi rezekinya. Setibanya di kursiku, wanita di sampingku dengan rada kesal berkata “ga ada, beneran ga ada" ujarnya dengan aksen Jakarta yg kental sambil merogoh isi tas. Pemuda itu tidak putus asa tetap saja dia berdiri di samping kiriku sambil memandang seorang wanita di samping kananku yang sedang sibuk merogoh isi tasnya. Oh my God, pemaksaan ni namanya. Dan beruntung wanita di sampingku menemukan sesuatu, selembar uang ribuan dan memberikannya pada pemuda itu. Setelah mengucapkan terimakasih dia pun beranjak ke bangku panjang yang berada di barisan paling belakang bus, dengan ekor mataku, aku memperhatikan aksinya, seorang ibu muda yang terpaksa bangun karena ulah sang pemuda itu, gelagapan.
“eh, kenapa?” ujar si ibu.
“permisi mbak” kata si pemuda. Tanpa banyak tanya, dengan melihat penampilannya yang bawa gitar dan sebagainya, tentu ibu itu langsung tahu, ibu itupun segera merogoh isi tas yang sedari tadi dipegangnya dan memberikan beberapa lembar uang ribuan. Aku melirik sahabatku yang berada tepat disamping ibu muda tadi, sedang menahan tawanya (walaupun ga lucu sih, jadi lucu karena baru kali ini melihat hal aneh itu).
Setelah turun dari bus, aku tak bisa menahan tawa lagi, kamipun terkekeh bersama. Ah, sebenarnya bukan menertawakan pemuda itu, lebih tepatnya menertawakan hidup ini, menertawakan kenyataan. Tentu saja, hidup, yang membuat pemuda itu bersikap seperti itu. Ya, hidup ini memang butuh perjuangan, tapi bukan berarti kita bebas berjuang, gigih, dengan MERESAHKAN orang lain. Ada etika dalam berjuang (ceille). Udah ah. :)
(pikiranku melayang ke beberapa bulan yang lalu, saat aku terpana dengan sopannya musisi jalanan di kota itu, ya kota sejuk yang sangat ingin kujadikan domisiliku)

Jumat, 15 April 2011

Good Bye My Sweetest

Hari ini, aku benar-benar melepasmu dari hatiku. Ah, bodoh sekali, menahan ini, menekannya dalam hati, hingga tak jarang wajah yang seharusnya dihiasi dengan senyum sumringah harus tertutupi dengan kemuraman, tak bersemangat, dan berjalan tertunduk tanpa tahu arah saat melihatmu berakrab ria dengan akhwat-akhwat teman kelasmu. Enak kalau niatannya buat GB, lah ini? Ntahlah apa yang membuatmu begitu memesonaku, kau yang selalu tampil elegant dengan kemeja 2/3 lengan dan celana gunung atau lepis longgar itu membuat hatiku kebat-kebit setiap saat melihatmu di depan umum dan melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan. Hatiku yang selalu berdebar setiap kali namamu terdengar ditelingaku, mataku yang selalu mencari senyum ringanmu setiap saat aku tak melihatmu di kampus ini, hingga tak jarang juga aku terpergok temanku sedang melamun dengan fikiran kosong. Benar-benar keterlaluan.
Ah, cinta itu memang datang tak diundang, dan memang tak bisa diprediksikan kepada siapa dia akan hinggap, hari ini aku benar-benar akan melepasmu dari hatiku my sweetest.

***

Siang itu tergesa aku melangkahkan kaki di koridor kampus yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa tanpa kutahu apa tujuan mereka, telinga ini telah tak kuat lagi mendengar berita itu, matapun rasanya sudah sangat susah untuk menahan keluarnya air yang mengalir hangat di pipi, berita itu benar-benar membuatku down, tak bersemangat dan sakit, ya sakit sekali, segumpalan darah yang biasa di sebut dengan hati itu sedang begitu sakitnya. Hampir saja aku kehilangan kelembutan hati kalau saja tidak melihat senyum tulus yang begitu bahagia di wajah cantik Mutya, sahabat dekatku, saat menyerahkan undangan pernikahannya.

“maaf ya Zi, maaaaaff banget tak memberitahukanmu hal ini sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku kepingin ngasih surprise buatmu” ujarnya waktu itu di koridor kampus depan kelasku, sambil menyerahkan undangan itu. Aku tersenyum dan mengambil undangannya sambil berucap

“siapa nih ikhwan yang beruntung itu?”

Dan segera membaca kertas hijau nan indah dengan motif bunga-bunga yang menawan itu. Taraaa, masyaAllah, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku berdebar, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku tersenyum sendiri, mampu membuatku kehilangan mood, mampu membuatku patah semangat, ya Allah, nama itu bersanding indah, terukir di kertas hijau yang cantik itu, bersama sahabatku sendiri, Mutya. Musibahkah ini? Atau teguran? Atau apa?
Tubuhku lunglai tak bersemangat, serasa langit runtuh dan menimpaku sampai ambruk, batu-batu besar menimpaku sampai tak tau lagi bentuknya, ya Allah berat sekali, sungguh, apabila tak ada iman di sini, mungkin aku sudah berlari dan meninggalkan Mutya dengan senyum bahagianya.

“Zi, Zia’, marah ya? Maaf Zi?” katanya lagi, melihatku tercenung tanpa kata.

“eh, enggak kok, selamat ya Mut” ujarku sambil tersenyum palsu.

“ohya, aku duluan bentar ya, mau bimbingan nih, nanti aku telpon kamu” kataku dan berlalu meninggalkan Mutya yang kebingungan dengan sikapku, bagaimana tidak, seorang sahabat yang akan menikah beberapa minggu lagi, tapi reaksiku malah seperti itu, bukannya antusias memberikannya semangat, dan doa-doa malah pergi dengan alasan tentu saja dibuat-buat, astaghfirullah.

Lebih dari 2 hari aku mengurung diri di kamar kost, makan seadanya, tak bersemangat, semua telfon tak ada yang aku jawab. Hanya sholat, baca al-qur’an, menangis. Ah, bodoh sekali. Lebih tepatnya, menata hati. Sampai hari ke-3, Mutya mengetuk pintu kamarku berulang-ulang, hatiku terenyuh, ku buka pintu kamarku, dan dia menubruk tubuhku yang lunglai. Menangis, dan berbicara lembut di telingaku.

“kenapa kau tak pernah memberitahuku?” bisiknya waktu itu.

“tentang apa Mut? Gimana persiapan walimahanmu?”

“Zi, tolonglah jangan siksa diri, kau menyukai Alif kan?” katanya lagi dengan tersedan. Aku terkejut, sekaligus bingung dengan apa yang diucapkan Mutya, tau dari mana dia? Aku sama sekali tak pernah memberitahukannya. Aku diam, tanpa reaksi, tetap membiarkan Mutya meneruskan ucapannya yang sayup-sayup kudengar, aku sudah sangat lunglai. Rabbi, ampuni hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tiba-tiba tanpa pernah terfikirkan olehku, Mutya menawarkan untuk membatalkan pernikahannya, ide tergila yang pernah aku dengar, tentu saja aku menolaknya dengan tegas, dan berkata aku akan lebih sakit saat bersama Alif dengan menyakitimu. Ah, Mutya, adakah ini salahmu? Atau salahku yang tak pernah memberitahukan siapapun kalau aku punya hati dengannya, Alif, calon suamimu. Allah . . dan aku fikir, ini bukan salah siapa-siapa, ini kehendak-Nya.

***
Aku tersenyum getir saat kembali melihat senyum ringanmu yang melintas di depanku bersama teman-temanmu siang itu, matamu yang terlapisi dengan lensa minus itu terpaut dengan mataku, segera aku tundukkn pandangan ini. Hari ini, aku akan benar-benar melepasmu dari hatiku. Ku buka laptopku yang berdebu di atas meja dan segera mencari semua tulisan-tulisan isengku, tentang Alif, dan ctrl+A delete all. Huh, lega rasanya. Betapapun sakitnya aku, tetap saja aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan Alif, good bye my sweetest, bahagiakan Mutya. Aku bisa tanpamu, aku lebih tenang tanpamu, aku lebih bahagia tanpamu. Biarlah Allah saja yang menemaniku saat ini, sampai tiba waktunya. Senyum terindahkupun terukir bersama sayup-sayup adzan maghrib, di mushola, samping kostanku. Aku rindu Engkau ya Allah.


(Cerpen kilat yang saya bikin sebelum ngerjain tugas, ngawur, dan tak terbayangkan betapa sakitnya ketika berada di posisi keduanya, ah tak sanggup saya, hihi :p)

Minggu, 10 April 2011

Kalau Kata

Ketika sangat merasa diri ini begitu berlumuran dosa, salah dan, khilaf, aku ingat kalau kata Allah dalam surat cinta-Nya, Al-mu’min : 60 “Berdoalah kamu niscaya akan Aku kabulkan”, kalau kata seorang ustad “Berdoalah dengan hati”, maka melakukan pertobatan dan memohon agar Dia berkenan mengampuni itu luar biasa.

Ketika sangat suntuk memikirkan kesuksesan ke depan, kalau kata Anton Chekov “Sekali-kali kita perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan, jangan sampai itu mengganggu dirimu”

Ketika sedang patah hati karena belum dinikahi (haha, becanda-becanda, taulah maksud saya apa), layaknya manusia normal (ceille) kalau kata Mas Fadhlan “Don’t Cry ketika mencintai tak bisa menikahi, dunia tak selebar daun pisang” artinya luaaasss sekaliii, mungkin Allah ada ‘kado’ yang lebih indah dari yang kita inginkan, bukankah Allah lebih mengetahui.

Lain lagi kalau kata ustad Salim “jodoh itu telah tercatat di lauhul mahfudz mau diambil dengan jalan halal ataupun haram, tetap saja dapatnya yang itu juga, yang beda rasa berkahnya” tunggu saja kejutan indah dari Allah “taaarrraaaaaaaa”

Ketika sedang begitu merindukan Ayah Bunda namun belum bisa bertatap, kalau kata Bundaku “Do’amu, cukup untuk mengobati, sayang”

Ketika sedang begitu suntuknya dengan beban hidup, kalau kata MR saya “jalan ke surga itu memang pahit, karena surga itu manis”

Ketika sedang begitu semrawutnya sama hidup, kalau kata Edcoustic “jalan ini tak selamanya indah, ada suka, ada duka. Jalani semua yang kau rasakan, kita pastiii bisaaa”

Ketika merasa tidak bersemangat belajar, kalau kata Uda A. Fuadi dalam Negeri 5 Menara “Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”

Ah, betapapun banyak ketika-ketika yang saya tuliskan dan kalau kata-kalau katanya, kalau kata kembaran saya (hehe, ada yah?) jika tidak ada aplikasinya, sama aja bo’ong, ga usah banyak cakap. Ya Allah, bantu hamba.

Kamis, 07 April 2011

Merindu

Aku sedang merindu, agak lebay sih, tapi serius aku sedang merindukannya teman. Bagaimana tidak? Sungguh Dia mengaturnya dengan indah, di sanalah aku menemukan ‘hidup’, di sanalah aku menemukan balutan rapi yang menutup kepalaku, bukan diwajibkan tempat itu, tapi tempat itulah yang membuatku mengerti bahwa agamaku mewajibkannya. Disanalah, aku menemukan arti saudara seiman (ceillee), yang (terkadang) ikatannya melebihi ikatan saudara kandung, bayangkan saja, bagaimana ikatannya tidak kuat? aku berada disana tiga tahun dan bertemu hampir 24 jam dengan penghuni tempat itu.

Ah, aku rindu sekali. Masih aku ingat dengan jelas, semua siswa putri berkumpul di bawah pohon itu (kami menyebutnya pohon cinta, hehe), saat siswa putranya sedang melaksanakan panggilan Allah, khusus bagi mereka. Aku masih ingat seperti apa raut wajah sebagian mereka (termasuk aku) saat pertama kali mendengar kata,

“ . . . jilbab itu wajib dek, bukan ayuk lho yang ngomong, nih . . . “ salah seorang dari kakak kelas berbicara dengan lantang sambil menunjuk kitab Allah, Al-qur’an suci itu, dan tak tanggung-tanggung serta merta kakak kelas yang disampingnya membacakan arti dari surah An-nur : 31.
“ . . . dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) . . . “

Duluuu, kalimat itu begitu asing ditelingaku, sebelumnya tidak ada yang pernah bilang tentang jilbab padaku, ya Allah sungguh gersangnya masih (zaman manusia purba kali) begitu terasa. Masih kuingat dengan jelas, seperti apa canggungnya aku saat pertama kali memakai tutup kepala itu. Tutup kepala, jilbab yang membuatku begitu nyamaaan, seriiiuuus, adeeeeeeeeemmmmm bangeeettt rasanya pas ‘dia’ ada dikepala menutup wajah (loh?, menutup kepala maksud saya) dengan rapi.

Masih aku ingat sampai sekarang saat seorang kakak kelas menegurku, melihat jilbab ini transparan sana sini dan sama sekali seperti tidak memakainya.

“dek, rambutnya masih kelihatan”

Masih terngiang-ngiang sekali kata itu ditelingaku (kayak lagu dangdut ya?), dan aku tanggapi dengan senyum tipis tanpa kata. Ya Allah, rinduuu sekali teguran itu (loh?), rinduuu sekali dengan orang yang menegurku, itu maksudnya, hehe.

Aku sedang merindu, agak lebay sih, tapi serius, aku sedang merindukannya teman, tak pernah kutemui tempat yang kondusif seperti itu sebelumnya. Aku rindu, rindu serindu-rindunya (ni baru lebay, hehe, lagu Malaysia bo’ :p) rindu berkumpul di sana, bercengkrama, tertawa bersama, menangis bersama, ngelaba (ngelawak.red) bersama, berantem (belaga = alap :p), rebutan tv antar asrama (hihi, jadi malu), ngerjain temen yang lagi milad (haha, Kiw apo kabar?), nonton bersama, keluar asrama tanpa izin (ups), ngelabuhi (ngolake, kalau bahasa kerajaan kami) pak satpam (maaf pak, plisss, gak lagi deh, serius :p), memalsukan tanda tangan pak Khol (pembina asrama.red) (haha, maaafff pak Khol), males bimbel siang, bimbel malem telat, sekolah pagi bel baru dateng, lari-lari, ahhh rindu sekaliii semuanya, apapun yang ada di sana, aku rinduuu...

Aku sangat rindu suasana kondusif itu, ketenangan itu, hari senin dan kamis kayak bulan Ramadhan, jam-jam dhuha mushola penuh oleh siswa yang sholat, ngaji bareng habis Maghrib. Ketika bulan Ramadhan datang, ya Allah betapa terasa ruginya ketika sedang tidak bisa berpuasa, ketika sedang tidak bisa sholat, ketika melihat teman-teman yang berlomba-lomba saling mendahului, lomba paling banyak khatam, aku rindu sekaliii SMA N 4 Lahat ya Allah, semoga kami semua bisa berkumpul di tempat-Mu yang lebih indah dan lebih kondusif ya Allah. Aamiin.

Kamis, 10 Maret 2011

Kado Indah Mereka

Pagi itu, entah kenapa, kepalaku pusiiiing sekali, ketika berdiri maka semua benda yang aku lihat serasa berputar. Tapi, tetap saja aku harus ke kampus, ada banyak hal yg harus kulakukan.

Sampai di kampus, pagi-pagi seorang kakak tingkat udah nguber-nguber nanyain kerjaan, tambah pusing nih kepala ane. Jawaban yang keluar dariku waktu itu hanyalah “iya kak, iya”. Saat masuk ke kelas, seorang dosen minta tolong motokopiin sesuatu, lanjuuut.. rumput-rumput di lapangan serasa menertawaiku yang sedang berjalan sedikit sempoyongan ga karuan (lebay ah), aku berlari kecil agar cepat sampai ke tempat fotokopiannya, dan bisa duduk sambil menunggu fotokopiannya selesai.

Alhamdulillah, tempat fotokopian di FKIP lagi sepi.
Selesai difotokopi, aku langsung bergegas menghampiri sang dosen yang telah asyik duduk di deretan paling depan diantara kami, bersanding dengan dosen-dosen lainnya.

“permisi pak, ini fotokopiannya”
“oh, iya. Makasih ya” jawab sang bapak sambil tersenyum, dan aku balik senyum tipis dengan menganggukkan kepala. Hari ini, kuliah seminar fisika, ada 3 kakak tingkat yang maju mempresentasikan hasil penelitian yang telah dikerjakannya selama kurun waktu tertentu, dengan 1 moderator. Tiba-tiba, saat pergantian kakak tingkat yang maju berikutnya, seorang dosen menginginkan ada pergantian moderator. Ya Allah, lagi-lagi saya sedang beruntung hari ini, seorang dosen nyeletuk.

“ayo Mirtha, Mirtha moderator, yang masih muda dulu jadi moderator!”
“oh my God, kepalaku lagi pusiiing banget" batinku dalam senyum paksa, saya ga hobby fake smile, tapi ga mungkin bermuka masam di kelas ini.

Ah, kaki ini tetap saja melangkah ke depan memenuhi permintaan sang dosen. Kelas ini sesungguhnya memang milik kakak tingkat, semester 8 ke atas, saya dan teman-teman yang lain cuma bermodalkan keberanian untuk mau mengambil mata kuliah ini sekarang (semester 6). Mohon mudahkanlah ya Allah.
Selesai jadi moderator, ada sms masuk.
“asslmkm, mbak Vivo ke kampus ga hari ini? Ayu mau ketemu mbak, ada titipan :)”
Titipan? Dari siapa? Untuk siapa? Apa? Pertanyaan-pertanyaan itu berkuasa di kepalaku. Akhirnya jari-jari ini bersinkronisasi dengan otak merangkai huruf di keypad hp menjadi sebuah kalimat.
“walaikmslm, iya dek. Kenapa? Mau ketemu? Boleh, dimana?”
“di mushola aja ya mbak, jam 11.40 Ayu dah keluar insyaAllah :)”
“oke, insyaAllah :)"
***

Ayu datang dengan sebuah senyuman di depan ruang 3102 gedung MIPA. Ku sambut ia dengan jabatan tangan dan senyum tak kalah sumringah (entahlah, senang bisa melihat Ayu dan teman-temannya yang lain bisa menjalin keakraban denganku, sejenak pusing di kepalaku serasa hilang begitu saja). Padahal tadi mau ketemu di mushola, ternyata kita malah papasan di depan kelas.

“kenapa dek?”
“ini mbak dari kami, makasih ya mbak” katanya sambil memberikan sebuah kado yang telah digenggamnya sejak tadi.
“lho? Buat apa? Mbak ga milad hari ini”
“hehe, ga apa-apa mbak, makasih ya mbak”
“jadi terharu dek, makasih ya”
Ayu, ketua kelompok mentoring 2010 pun meninggalkan saya. Terharu, makasih adik-adikku. :)


Cuma mau bilang, hadiah itu bisa bikin kepala pusing jadi hilang. Haha.

Sabtu, 05 Maret 2011

Rumah Eyang

Rumah dengan cat putih, dan mempunyai pekarangan luas yang ditumbuhi berbagai tanaman bunga berwarna-warni indah itu, rumah Eyangku. Ya, di sinilah aku menghabiskan hari-hariku selain di sekolah. Eyang, ah, eyang terlalu baik untuk dititipi anak nakal sepertiku. Dititipi? Benarkah? Lebih tepatnya aku ditinggalkan. Mama papaku berpisah. Aku tak tahu dimana mamaku sekarang. Hiks. . . Mama, aku sangat merindukanmu.

Tapi aku cukup senang karena mengetahui papa masih ada di rumah lama kami, rumah yang pernah membawa keceriaan hari-hariku. Eits, bukan berarti aku tak suka di rumah eyang, bahkan kebalikannya, aku sangat suka berada di sini. Mengurus eyang yang tinggal berdua adalah sebuah anugerah bagiku. Itulah kenapa saat teman-teman menanyakan kenapa aku tidak ikut atau tinggal bersama papaku saja, yang jelas-jelas lebih enak karena berada di kota, sekali lagi aku akan dengan lantang menjawab karena bagiku mengurus kakek dan nenek yang biasa aku panggil eyang kakung dan eyang putri adalah sebuah anugerah. Ah, tapi lebih tepatnya lagi aku melihat ada rasa ketidakinginan papa untuk memeliharaku. Entahlah, apa aku bukan anak mama dan papa ya? Aaargh, ketika membayangkan hal yang terakhir, aku sangat takut. Takut sekali. Jangan Rabb.
“belum tidur le?”
Nah, itu suara eyang putri.
Ku tutup buku biru itu. Dan segera melangkahkan kaki, membuka pintu kamar, tampaklah wajah senja eyang putri tersenyum, oleh mata minus-ku.
“belum Yang. Eyang kenapa belum tidur?” tanyaku sambil menutup pintu kamar. Eyang tidak menjawab pertanyaanku, beliau melangkahkan kakinya menuju ruang dalam. Akupun mengikuti eyang putri sampai ke dalam ruangan. Di sana –duduk di kursi tamu- telah ada eyang kakung yang menatap lekat mataku.
“duduklah Nak!” eyang kakung membuka suara beratnya setelah aku sampai di hadapannya. Aku mengikuti perintahnya tanpa bersuara. Suasana ruangan ini hening sekali. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu apa yang akan dikatakan oleh eyang kakung. Kulihat eyang putri tertunduk. Wajah letihnya tak menampakkan senyum sedikitpun, yang aku lihat malah ada butir air yang mengalir di pipi keriputnya. Aku tetap menunggu tanpa bersuara, memandangi eyang kakung dan eyang putri yang duduk bersebelahan tepat di seberang kursi tempat dudukku. Satu menit, dua menit, tiga menit, ah, aku sudah tak bisa menunggu lagi.
“maaf Eyang, ada yang ingin Eyang sampaikan?” akhirnya akupun membuka suara.
“Eyang . . . menyayangimu” suara eyang putri terbata.
Aku tersenyum “Iyo tahu Eyang”
“Satrio” kali ini suara eyang kakung mampir ke telingaku. Ada yang aneh, rasanya tidak pernah –seingatku- eyang kakung memanggilku dengan nama “Satrio” bukan “Iyo”.
“sudah saatnya engkau tahu ini Nak. Kau sudah kelas 3 SMA dan itu berarti kau sudah dewasa. Eyangpun tidak berhak untuk menutupinya lagi, apalagi di dalam agama kita, menutupinya itu merupakan hal yang dilarang” lanjut eyang kakung dan beberapa saat setelahnya kembali diam. Nya? Apa yang sedang dibicarakan Eyang? Akupun diam dengan mencoba menerka-nerka apa yang bakal dibicarakan eyang kakung. Tapi aku tidak sempat mengeluarkan pikiranku dalam bentuk ucapan, eyang kakung telah kembali mengeluarkan kata-katanya.
“tadi siang saat kau sekolah, Ibumu datang kemari, ke rumah kita dan . . .meminta agar kau ikut bersamanya” eyang kakung tertunduk.
“ibu? Maksud Eyang, mama? Mama ke sini Eyang? Memangnya mama sebenarnya ada dimana Eyang? Bukankah Eyang bilang mama berada di tempat yang sangat jauh, kok bisa pulang ke sini sebentar sekali Yang, tanpa melihatku pula?” tanyaku menyerbu eyang kakung. Kulihat eyang kakung masih tertunduk.
“bukan, dia ibu kandungmu. Bukan mamamu yang datang ke sini”
“ibu kandungku, bukan mama?”

“iya, ibu kandungmu Bu Meyla. Sebenarnya. . . kau anak angkat dari papa dan mamamu” ujar eyang kakung lirih.
Aku lemas, ucapan eyang kakung seperti petir menyambar tubuhku hingga hangus. Seketika itu juga aku ingat seraut wajah penuh senyum saat menatapku, Bu Meyla. Bu Meyla, ibu kandungku? Ya, aku tahu Bu Meyla, wanita yang aku panggil ibu atas permintaan mama dahulu. Ya Rabbi, akhirnya apa yang aku takutkan selama ini benar-benar terjadi. Aku tak bisa bersuara lagi. Membisu, mengikuti keheningan ruangan ini.
“mamamu, anak Eyang, bukan tidak mau mengajakmu bersamanya. Tapi waktu itu ibumu tidak mengizinkannya untuk membawamu pergi jauh. Akhirnya dengan berat hati mamamu pergi sendiri. Dia berada di NTT untuk menghindari papamu. Tolong jangan salahkan siapa-siapa le” ujar eyang putri.
Ah, eyang aku tidak akan pernah menyalahkan siapa-siapa, punya pikiran untuk menyalahkan saja tidak ada. Inilah takdir Allah, bahwa aku harus hidup tanpa orang tua, walaupun aku sebenarnya punya dua orang tua. Aku sangat merindukan mama. Dan juga sekarang aku sangat merindukan ibu, Bu Meyla, ibu kandungku yang telah berjuang melahirkan aku sehingga aku bisa melihat indahnya dunia ini. Tapi, sepertinya aku bakal tetap di sini menemani eyang, bersama eyang, di rumah eyang, rumah yang menjadi saksi suka dukaku selama hampir 9 tahun ini.

Indralaya, 31 Desember 2010
***