Jumat, 15 April 2011

Good Bye My Sweetest

Hari ini, aku benar-benar melepasmu dari hatiku. Ah, bodoh sekali, menahan ini, menekannya dalam hati, hingga tak jarang wajah yang seharusnya dihiasi dengan senyum sumringah harus tertutupi dengan kemuraman, tak bersemangat, dan berjalan tertunduk tanpa tahu arah saat melihatmu berakrab ria dengan akhwat-akhwat teman kelasmu. Enak kalau niatannya buat GB, lah ini? Ntahlah apa yang membuatmu begitu memesonaku, kau yang selalu tampil elegant dengan kemeja 2/3 lengan dan celana gunung atau lepis longgar itu membuat hatiku kebat-kebit setiap saat melihatmu di depan umum dan melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan. Hatiku yang selalu berdebar setiap kali namamu terdengar ditelingaku, mataku yang selalu mencari senyum ringanmu setiap saat aku tak melihatmu di kampus ini, hingga tak jarang juga aku terpergok temanku sedang melamun dengan fikiran kosong. Benar-benar keterlaluan.
Ah, cinta itu memang datang tak diundang, dan memang tak bisa diprediksikan kepada siapa dia akan hinggap, hari ini aku benar-benar akan melepasmu dari hatiku my sweetest.

***

Siang itu tergesa aku melangkahkan kaki di koridor kampus yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa tanpa kutahu apa tujuan mereka, telinga ini telah tak kuat lagi mendengar berita itu, matapun rasanya sudah sangat susah untuk menahan keluarnya air yang mengalir hangat di pipi, berita itu benar-benar membuatku down, tak bersemangat dan sakit, ya sakit sekali, segumpalan darah yang biasa di sebut dengan hati itu sedang begitu sakitnya. Hampir saja aku kehilangan kelembutan hati kalau saja tidak melihat senyum tulus yang begitu bahagia di wajah cantik Mutya, sahabat dekatku, saat menyerahkan undangan pernikahannya.

“maaf ya Zi, maaaaaff banget tak memberitahukanmu hal ini sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku kepingin ngasih surprise buatmu” ujarnya waktu itu di koridor kampus depan kelasku, sambil menyerahkan undangan itu. Aku tersenyum dan mengambil undangannya sambil berucap

“siapa nih ikhwan yang beruntung itu?”

Dan segera membaca kertas hijau nan indah dengan motif bunga-bunga yang menawan itu. Taraaa, masyaAllah, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku berdebar, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku tersenyum sendiri, mampu membuatku kehilangan mood, mampu membuatku patah semangat, ya Allah, nama itu bersanding indah, terukir di kertas hijau yang cantik itu, bersama sahabatku sendiri, Mutya. Musibahkah ini? Atau teguran? Atau apa?
Tubuhku lunglai tak bersemangat, serasa langit runtuh dan menimpaku sampai ambruk, batu-batu besar menimpaku sampai tak tau lagi bentuknya, ya Allah berat sekali, sungguh, apabila tak ada iman di sini, mungkin aku sudah berlari dan meninggalkan Mutya dengan senyum bahagianya.

“Zi, Zia’, marah ya? Maaf Zi?” katanya lagi, melihatku tercenung tanpa kata.

“eh, enggak kok, selamat ya Mut” ujarku sambil tersenyum palsu.

“ohya, aku duluan bentar ya, mau bimbingan nih, nanti aku telpon kamu” kataku dan berlalu meninggalkan Mutya yang kebingungan dengan sikapku, bagaimana tidak, seorang sahabat yang akan menikah beberapa minggu lagi, tapi reaksiku malah seperti itu, bukannya antusias memberikannya semangat, dan doa-doa malah pergi dengan alasan tentu saja dibuat-buat, astaghfirullah.

Lebih dari 2 hari aku mengurung diri di kamar kost, makan seadanya, tak bersemangat, semua telfon tak ada yang aku jawab. Hanya sholat, baca al-qur’an, menangis. Ah, bodoh sekali. Lebih tepatnya, menata hati. Sampai hari ke-3, Mutya mengetuk pintu kamarku berulang-ulang, hatiku terenyuh, ku buka pintu kamarku, dan dia menubruk tubuhku yang lunglai. Menangis, dan berbicara lembut di telingaku.

“kenapa kau tak pernah memberitahuku?” bisiknya waktu itu.

“tentang apa Mut? Gimana persiapan walimahanmu?”

“Zi, tolonglah jangan siksa diri, kau menyukai Alif kan?” katanya lagi dengan tersedan. Aku terkejut, sekaligus bingung dengan apa yang diucapkan Mutya, tau dari mana dia? Aku sama sekali tak pernah memberitahukannya. Aku diam, tanpa reaksi, tetap membiarkan Mutya meneruskan ucapannya yang sayup-sayup kudengar, aku sudah sangat lunglai. Rabbi, ampuni hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tiba-tiba tanpa pernah terfikirkan olehku, Mutya menawarkan untuk membatalkan pernikahannya, ide tergila yang pernah aku dengar, tentu saja aku menolaknya dengan tegas, dan berkata aku akan lebih sakit saat bersama Alif dengan menyakitimu. Ah, Mutya, adakah ini salahmu? Atau salahku yang tak pernah memberitahukan siapapun kalau aku punya hati dengannya, Alif, calon suamimu. Allah . . dan aku fikir, ini bukan salah siapa-siapa, ini kehendak-Nya.

***
Aku tersenyum getir saat kembali melihat senyum ringanmu yang melintas di depanku bersama teman-temanmu siang itu, matamu yang terlapisi dengan lensa minus itu terpaut dengan mataku, segera aku tundukkn pandangan ini. Hari ini, aku akan benar-benar melepasmu dari hatiku. Ku buka laptopku yang berdebu di atas meja dan segera mencari semua tulisan-tulisan isengku, tentang Alif, dan ctrl+A delete all. Huh, lega rasanya. Betapapun sakitnya aku, tetap saja aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan Alif, good bye my sweetest, bahagiakan Mutya. Aku bisa tanpamu, aku lebih tenang tanpamu, aku lebih bahagia tanpamu. Biarlah Allah saja yang menemaniku saat ini, sampai tiba waktunya. Senyum terindahkupun terukir bersama sayup-sayup adzan maghrib, di mushola, samping kostanku. Aku rindu Engkau ya Allah.


(Cerpen kilat yang saya bikin sebelum ngerjain tugas, ngawur, dan tak terbayangkan betapa sakitnya ketika berada di posisi keduanya, ah tak sanggup saya, hihi :p)

Minggu, 10 April 2011

Kalau Kata

Ketika sangat merasa diri ini begitu berlumuran dosa, salah dan, khilaf, aku ingat kalau kata Allah dalam surat cinta-Nya, Al-mu’min : 60 “Berdoalah kamu niscaya akan Aku kabulkan”, kalau kata seorang ustad “Berdoalah dengan hati”, maka melakukan pertobatan dan memohon agar Dia berkenan mengampuni itu luar biasa.

Ketika sangat suntuk memikirkan kesuksesan ke depan, kalau kata Anton Chekov “Sekali-kali kita perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan, jangan sampai itu mengganggu dirimu”

Ketika sedang patah hati karena belum dinikahi (haha, becanda-becanda, taulah maksud saya apa), layaknya manusia normal (ceille) kalau kata Mas Fadhlan “Don’t Cry ketika mencintai tak bisa menikahi, dunia tak selebar daun pisang” artinya luaaasss sekaliii, mungkin Allah ada ‘kado’ yang lebih indah dari yang kita inginkan, bukankah Allah lebih mengetahui.

Lain lagi kalau kata ustad Salim “jodoh itu telah tercatat di lauhul mahfudz mau diambil dengan jalan halal ataupun haram, tetap saja dapatnya yang itu juga, yang beda rasa berkahnya” tunggu saja kejutan indah dari Allah “taaarrraaaaaaaa”

Ketika sedang begitu merindukan Ayah Bunda namun belum bisa bertatap, kalau kata Bundaku “Do’amu, cukup untuk mengobati, sayang”

Ketika sedang begitu suntuknya dengan beban hidup, kalau kata MR saya “jalan ke surga itu memang pahit, karena surga itu manis”

Ketika sedang begitu semrawutnya sama hidup, kalau kata Edcoustic “jalan ini tak selamanya indah, ada suka, ada duka. Jalani semua yang kau rasakan, kita pastiii bisaaa”

Ketika merasa tidak bersemangat belajar, kalau kata Uda A. Fuadi dalam Negeri 5 Menara “Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”

Ah, betapapun banyak ketika-ketika yang saya tuliskan dan kalau kata-kalau katanya, kalau kata kembaran saya (hehe, ada yah?) jika tidak ada aplikasinya, sama aja bo’ong, ga usah banyak cakap. Ya Allah, bantu hamba.

Kamis, 07 April 2011

Merindu

Aku sedang merindu, agak lebay sih, tapi serius aku sedang merindukannya teman. Bagaimana tidak? Sungguh Dia mengaturnya dengan indah, di sanalah aku menemukan ‘hidup’, di sanalah aku menemukan balutan rapi yang menutup kepalaku, bukan diwajibkan tempat itu, tapi tempat itulah yang membuatku mengerti bahwa agamaku mewajibkannya. Disanalah, aku menemukan arti saudara seiman (ceillee), yang (terkadang) ikatannya melebihi ikatan saudara kandung, bayangkan saja, bagaimana ikatannya tidak kuat? aku berada disana tiga tahun dan bertemu hampir 24 jam dengan penghuni tempat itu.

Ah, aku rindu sekali. Masih aku ingat dengan jelas, semua siswa putri berkumpul di bawah pohon itu (kami menyebutnya pohon cinta, hehe), saat siswa putranya sedang melaksanakan panggilan Allah, khusus bagi mereka. Aku masih ingat seperti apa raut wajah sebagian mereka (termasuk aku) saat pertama kali mendengar kata,

“ . . . jilbab itu wajib dek, bukan ayuk lho yang ngomong, nih . . . “ salah seorang dari kakak kelas berbicara dengan lantang sambil menunjuk kitab Allah, Al-qur’an suci itu, dan tak tanggung-tanggung serta merta kakak kelas yang disampingnya membacakan arti dari surah An-nur : 31.
“ . . . dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) . . . “

Duluuu, kalimat itu begitu asing ditelingaku, sebelumnya tidak ada yang pernah bilang tentang jilbab padaku, ya Allah sungguh gersangnya masih (zaman manusia purba kali) begitu terasa. Masih kuingat dengan jelas, seperti apa canggungnya aku saat pertama kali memakai tutup kepala itu. Tutup kepala, jilbab yang membuatku begitu nyamaaan, seriiiuuus, adeeeeeeeeemmmmm bangeeettt rasanya pas ‘dia’ ada dikepala menutup wajah (loh?, menutup kepala maksud saya) dengan rapi.

Masih aku ingat sampai sekarang saat seorang kakak kelas menegurku, melihat jilbab ini transparan sana sini dan sama sekali seperti tidak memakainya.

“dek, rambutnya masih kelihatan”

Masih terngiang-ngiang sekali kata itu ditelingaku (kayak lagu dangdut ya?), dan aku tanggapi dengan senyum tipis tanpa kata. Ya Allah, rinduuu sekali teguran itu (loh?), rinduuu sekali dengan orang yang menegurku, itu maksudnya, hehe.

Aku sedang merindu, agak lebay sih, tapi serius, aku sedang merindukannya teman, tak pernah kutemui tempat yang kondusif seperti itu sebelumnya. Aku rindu, rindu serindu-rindunya (ni baru lebay, hehe, lagu Malaysia bo’ :p) rindu berkumpul di sana, bercengkrama, tertawa bersama, menangis bersama, ngelaba (ngelawak.red) bersama, berantem (belaga = alap :p), rebutan tv antar asrama (hihi, jadi malu), ngerjain temen yang lagi milad (haha, Kiw apo kabar?), nonton bersama, keluar asrama tanpa izin (ups), ngelabuhi (ngolake, kalau bahasa kerajaan kami) pak satpam (maaf pak, plisss, gak lagi deh, serius :p), memalsukan tanda tangan pak Khol (pembina asrama.red) (haha, maaafff pak Khol), males bimbel siang, bimbel malem telat, sekolah pagi bel baru dateng, lari-lari, ahhh rindu sekaliii semuanya, apapun yang ada di sana, aku rinduuu...

Aku sangat rindu suasana kondusif itu, ketenangan itu, hari senin dan kamis kayak bulan Ramadhan, jam-jam dhuha mushola penuh oleh siswa yang sholat, ngaji bareng habis Maghrib. Ketika bulan Ramadhan datang, ya Allah betapa terasa ruginya ketika sedang tidak bisa berpuasa, ketika sedang tidak bisa sholat, ketika melihat teman-teman yang berlomba-lomba saling mendahului, lomba paling banyak khatam, aku rindu sekaliii SMA N 4 Lahat ya Allah, semoga kami semua bisa berkumpul di tempat-Mu yang lebih indah dan lebih kondusif ya Allah. Aamiin.