Hari ini, aku benar-benar melepasmu dari hatiku. Ah, bodoh sekali, menahan ini, menekannya dalam hati, hingga tak jarang wajah yang seharusnya dihiasi dengan senyum sumringah harus tertutupi dengan kemuraman, tak bersemangat, dan berjalan tertunduk tanpa tahu arah saat melihatmu berakrab ria dengan akhwat-akhwat teman kelasmu. Enak kalau niatannya buat GB, lah ini? Ntahlah apa yang membuatmu begitu memesonaku, kau yang selalu tampil elegant dengan kemeja 2/3 lengan dan celana gunung atau lepis longgar itu membuat hatiku kebat-kebit setiap saat melihatmu di depan umum dan melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan. Hatiku yang selalu berdebar setiap kali namamu terdengar ditelingaku, mataku yang selalu mencari senyum ringanmu setiap saat aku tak melihatmu di kampus ini, hingga tak jarang juga aku terpergok temanku sedang melamun dengan fikiran kosong. Benar-benar keterlaluan.
Ah, cinta itu memang datang tak diundang, dan memang tak bisa diprediksikan kepada siapa dia akan hinggap, hari ini aku benar-benar akan melepasmu dari hatiku my sweetest.
***
Siang itu tergesa aku melangkahkan kaki di koridor kampus yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa tanpa kutahu apa tujuan mereka, telinga ini telah tak kuat lagi mendengar berita itu, matapun rasanya sudah sangat susah untuk menahan keluarnya air yang mengalir hangat di pipi, berita itu benar-benar membuatku down, tak bersemangat dan sakit, ya sakit sekali, segumpalan darah yang biasa di sebut dengan hati itu sedang begitu sakitnya. Hampir saja aku kehilangan kelembutan hati kalau saja tidak melihat senyum tulus yang begitu bahagia di wajah cantik Mutya, sahabat dekatku, saat menyerahkan undangan pernikahannya.
“maaf ya Zi, maaaaaff banget tak memberitahukanmu hal ini sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku kepingin ngasih surprise buatmu” ujarnya waktu itu di koridor kampus depan kelasku, sambil menyerahkan undangan itu. Aku tersenyum dan mengambil undangannya sambil berucap
“siapa nih ikhwan yang beruntung itu?”
Dan segera membaca kertas hijau nan indah dengan motif bunga-bunga yang menawan itu. Taraaa, masyaAllah, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku berdebar, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku tersenyum sendiri, mampu membuatku kehilangan mood, mampu membuatku patah semangat, ya Allah, nama itu bersanding indah, terukir di kertas hijau yang cantik itu, bersama sahabatku sendiri, Mutya. Musibahkah ini? Atau teguran? Atau apa?
Tubuhku lunglai tak bersemangat, serasa langit runtuh dan menimpaku sampai ambruk, batu-batu besar menimpaku sampai tak tau lagi bentuknya, ya Allah berat sekali, sungguh, apabila tak ada iman di sini, mungkin aku sudah berlari dan meninggalkan Mutya dengan senyum bahagianya.
“Zi, Zia’, marah ya? Maaf Zi?” katanya lagi, melihatku tercenung tanpa kata.
“eh, enggak kok, selamat ya Mut” ujarku sambil tersenyum palsu.
“ohya, aku duluan bentar ya, mau bimbingan nih, nanti aku telpon kamu” kataku dan berlalu meninggalkan Mutya yang kebingungan dengan sikapku, bagaimana tidak, seorang sahabat yang akan menikah beberapa minggu lagi, tapi reaksiku malah seperti itu, bukannya antusias memberikannya semangat, dan doa-doa malah pergi dengan alasan tentu saja dibuat-buat, astaghfirullah.
Lebih dari 2 hari aku mengurung diri di kamar kost, makan seadanya, tak bersemangat, semua telfon tak ada yang aku jawab. Hanya sholat, baca al-qur’an, menangis. Ah, bodoh sekali. Lebih tepatnya, menata hati. Sampai hari ke-3, Mutya mengetuk pintu kamarku berulang-ulang, hatiku terenyuh, ku buka pintu kamarku, dan dia menubruk tubuhku yang lunglai. Menangis, dan berbicara lembut di telingaku.
“kenapa kau tak pernah memberitahuku?” bisiknya waktu itu.
“tentang apa Mut? Gimana persiapan walimahanmu?”
“Zi, tolonglah jangan siksa diri, kau menyukai Alif kan?” katanya lagi dengan tersedan. Aku terkejut, sekaligus bingung dengan apa yang diucapkan Mutya, tau dari mana dia? Aku sama sekali tak pernah memberitahukannya. Aku diam, tanpa reaksi, tetap membiarkan Mutya meneruskan ucapannya yang sayup-sayup kudengar, aku sudah sangat lunglai. Rabbi, ampuni hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tiba-tiba tanpa pernah terfikirkan olehku, Mutya menawarkan untuk membatalkan pernikahannya, ide tergila yang pernah aku dengar, tentu saja aku menolaknya dengan tegas, dan berkata aku akan lebih sakit saat bersama Alif dengan menyakitimu. Ah, Mutya, adakah ini salahmu? Atau salahku yang tak pernah memberitahukan siapapun kalau aku punya hati dengannya, Alif, calon suamimu. Allah . . dan aku fikir, ini bukan salah siapa-siapa, ini kehendak-Nya.
***
Aku tersenyum getir saat kembali melihat senyum ringanmu yang melintas di depanku bersama teman-temanmu siang itu, matamu yang terlapisi dengan lensa minus itu terpaut dengan mataku, segera aku tundukkn pandangan ini. Hari ini, aku akan benar-benar melepasmu dari hatiku. Ku buka laptopku yang berdebu di atas meja dan segera mencari semua tulisan-tulisan isengku, tentang Alif, dan ctrl+A delete all. Huh, lega rasanya. Betapapun sakitnya aku, tetap saja aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan Alif, good bye my sweetest, bahagiakan Mutya. Aku bisa tanpamu, aku lebih tenang tanpamu, aku lebih bahagia tanpamu. Biarlah Allah saja yang menemaniku saat ini, sampai tiba waktunya. Senyum terindahkupun terukir bersama sayup-sayup adzan maghrib, di mushola, samping kostanku. Aku rindu Engkau ya Allah.
(Cerpen kilat yang saya bikin sebelum ngerjain tugas, ngawur, dan tak terbayangkan betapa sakitnya ketika berada di posisi keduanya, ah tak sanggup saya, hihi :p)
Ah, cinta itu memang datang tak diundang, dan memang tak bisa diprediksikan kepada siapa dia akan hinggap, hari ini aku benar-benar akan melepasmu dari hatiku my sweetest.
***
Siang itu tergesa aku melangkahkan kaki di koridor kampus yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa tanpa kutahu apa tujuan mereka, telinga ini telah tak kuat lagi mendengar berita itu, matapun rasanya sudah sangat susah untuk menahan keluarnya air yang mengalir hangat di pipi, berita itu benar-benar membuatku down, tak bersemangat dan sakit, ya sakit sekali, segumpalan darah yang biasa di sebut dengan hati itu sedang begitu sakitnya. Hampir saja aku kehilangan kelembutan hati kalau saja tidak melihat senyum tulus yang begitu bahagia di wajah cantik Mutya, sahabat dekatku, saat menyerahkan undangan pernikahannya.
“maaf ya Zi, maaaaaff banget tak memberitahukanmu hal ini sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku kepingin ngasih surprise buatmu” ujarnya waktu itu di koridor kampus depan kelasku, sambil menyerahkan undangan itu. Aku tersenyum dan mengambil undangannya sambil berucap
“siapa nih ikhwan yang beruntung itu?”
Dan segera membaca kertas hijau nan indah dengan motif bunga-bunga yang menawan itu. Taraaa, masyaAllah, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku berdebar, sebuah nama yang selama ini mampu membuatku tersenyum sendiri, mampu membuatku kehilangan mood, mampu membuatku patah semangat, ya Allah, nama itu bersanding indah, terukir di kertas hijau yang cantik itu, bersama sahabatku sendiri, Mutya. Musibahkah ini? Atau teguran? Atau apa?
Tubuhku lunglai tak bersemangat, serasa langit runtuh dan menimpaku sampai ambruk, batu-batu besar menimpaku sampai tak tau lagi bentuknya, ya Allah berat sekali, sungguh, apabila tak ada iman di sini, mungkin aku sudah berlari dan meninggalkan Mutya dengan senyum bahagianya.
“Zi, Zia’, marah ya? Maaf Zi?” katanya lagi, melihatku tercenung tanpa kata.
“eh, enggak kok, selamat ya Mut” ujarku sambil tersenyum palsu.
“ohya, aku duluan bentar ya, mau bimbingan nih, nanti aku telpon kamu” kataku dan berlalu meninggalkan Mutya yang kebingungan dengan sikapku, bagaimana tidak, seorang sahabat yang akan menikah beberapa minggu lagi, tapi reaksiku malah seperti itu, bukannya antusias memberikannya semangat, dan doa-doa malah pergi dengan alasan tentu saja dibuat-buat, astaghfirullah.
Lebih dari 2 hari aku mengurung diri di kamar kost, makan seadanya, tak bersemangat, semua telfon tak ada yang aku jawab. Hanya sholat, baca al-qur’an, menangis. Ah, bodoh sekali. Lebih tepatnya, menata hati. Sampai hari ke-3, Mutya mengetuk pintu kamarku berulang-ulang, hatiku terenyuh, ku buka pintu kamarku, dan dia menubruk tubuhku yang lunglai. Menangis, dan berbicara lembut di telingaku.
“kenapa kau tak pernah memberitahuku?” bisiknya waktu itu.
“tentang apa Mut? Gimana persiapan walimahanmu?”
“Zi, tolonglah jangan siksa diri, kau menyukai Alif kan?” katanya lagi dengan tersedan. Aku terkejut, sekaligus bingung dengan apa yang diucapkan Mutya, tau dari mana dia? Aku sama sekali tak pernah memberitahukannya. Aku diam, tanpa reaksi, tetap membiarkan Mutya meneruskan ucapannya yang sayup-sayup kudengar, aku sudah sangat lunglai. Rabbi, ampuni hamba. Ampuni hamba ya Allah. Tiba-tiba tanpa pernah terfikirkan olehku, Mutya menawarkan untuk membatalkan pernikahannya, ide tergila yang pernah aku dengar, tentu saja aku menolaknya dengan tegas, dan berkata aku akan lebih sakit saat bersama Alif dengan menyakitimu. Ah, Mutya, adakah ini salahmu? Atau salahku yang tak pernah memberitahukan siapapun kalau aku punya hati dengannya, Alif, calon suamimu. Allah . . dan aku fikir, ini bukan salah siapa-siapa, ini kehendak-Nya.
***
Aku tersenyum getir saat kembali melihat senyum ringanmu yang melintas di depanku bersama teman-temanmu siang itu, matamu yang terlapisi dengan lensa minus itu terpaut dengan mataku, segera aku tundukkn pandangan ini. Hari ini, aku akan benar-benar melepasmu dari hatiku. Ku buka laptopku yang berdebu di atas meja dan segera mencari semua tulisan-tulisan isengku, tentang Alif, dan ctrl+A delete all. Huh, lega rasanya. Betapapun sakitnya aku, tetap saja aku bahagia melihat sahabatku bahagia. Dan Alif, good bye my sweetest, bahagiakan Mutya. Aku bisa tanpamu, aku lebih tenang tanpamu, aku lebih bahagia tanpamu. Biarlah Allah saja yang menemaniku saat ini, sampai tiba waktunya. Senyum terindahkupun terukir bersama sayup-sayup adzan maghrib, di mushola, samping kostanku. Aku rindu Engkau ya Allah.
(Cerpen kilat yang saya bikin sebelum ngerjain tugas, ngawur, dan tak terbayangkan betapa sakitnya ketika berada di posisi keduanya, ah tak sanggup saya, hihi :p)